Tiada orang yang menyadari selain orang-orang yang bergaul dengan Ahlul Ilmi
ternyata definisi “Sunnah” yang selama ini kita fahami terutama yang
kita dapatkan di sekolah-sekolah ternyata salah dan keliru. Mungkin
masih ingat di benak kita ketika guru kita mendefinisi Wajib, guru kita
(mudah-mudahan Allah merahmati mereka) berkata, wajib adalah Apabila dikerjakan mendapat Pahala dan jika di tinggalkan berdosa. Lalu bagaimana dengan “Sunnah”? dari
sinilah dimulai kekeliruan itu. Hampir tidak ada bedanya dengan Wajib,
hanya saja kalau di tinggalkan, TIDAK APA-APA. Sehingga kalau di
definisikan menjadi, Sunnah adalah Apabila dikerjakan mendapatkan Pahala dan Apabila di tinggalkan TIDAK APA-APA. Mari
kita kembali ke hukum asal dari mana kata “Sunnah” itu berasal. Menurut
Bahasa, “Sunnah” berasal dari bahasa Arab; Sin, Nun, Nun yang jika
dibaca sananun berarti “jalan” atau “metode.” Adapun jika dibaca sununun atau sanunun keduanya merupakan bentuk jamak dari sunnah maka artinya “perjalanan hidup.”
Menurut lbnul Atsir, “Kata sunnah dengan segala variasinya
disebutkan berulang-ulang dalam hadits, yang arti asalnya adalah
“perjalanan hidup” dan “perilaku’.” (an-Nihayah 2: 409). Adapun
pengertian sunnah dalam istilah syara’, menurut para Ahli Hadits,
adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Shalallahu
‘alaihi wassalam, yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,
karakter, akhlak, ataupun perilaku, baik sebelum maupun sesudah
diangkat menjadi nabi.
Coba kita bandingkan dengan Pengertian yang selama ini kita anut,
amat jauh berbeda. Karena ketika kita mengartikan Sunnah dengan Apabila
dikerjakan dapat pahala, di tinggalkan tidak apa-apa. Maka kata “Tidak
Apa-apa” sangat berpengarus besar pada akhir dari sikap kita terhadap
Sunnah, yang pada akhirnya di tinggalkan. Karena hukum meninggalkan
Sunnah itu tidak apa-apa. Na’udzubillahi min Dzaalik.
Sunnah adalah kebiasaan Nabi saw yang mulia, yang apabila kita
meneladani beliau saw dalam setiap keadaan maka Allah swt akan
memberikan kita berupa pahala yang besar tergantung nilai amal yang
kita kerjakan. Misalnya Makan Sahur. Ini adalah salah satu kebiasaan
Rasulullah saw selama bulan Ramadhan. Beliau saw mensyariatkan untuk
makan sahur karena didalamnya ada keberkahan. Dilihat dari reward-nya
akan mendapat pahala dan dilihat dari dampak fisik kita ketika kita
melakukan Sahur, maka Puasa kita akan semakin terasa kuat. Tidak ada
sisi kerugian dari mana saja pun kita melihatnya. Dalam
Ceramah Ramadhan, Pimpinan Pesantren Darunnajah Cipining KH Jamhari
Abdul Jalal, Lc menyampaikan kepada seluruh santrinya bahwa Sunnah itu
untuk di kerjakan walau jika di tinggalkan tidak berdosa. Melaksanakan
Amalan Sunnah itu tidaklah berat, kita dapat melakukannya menurut
sekemampuan kita. Maka mengambil keutamaan demi mendapat Ridha dari
Allah swt adalah sangat diutamakan. Pak Kyai demikian sapaan
akrab beliau, menganalogikan Sunnah dengan mengikuti sebuah antrian
untuk mendapatkan Mobil misalnya. Maka siapa yang ikut Antrian tersebut
akan mendapatkan mobil mewah tersebut. Tidak wajib memang dan tidak
dihukum memang kalau kita tidak ikut antrian, tetapi apakah kita tidak
rugi tidak mendapatkan Mobil, hanya dengan menunggu beberapa saat saja?
Mungkin hanya orang bodoh saja yang merasa tidak rugi ketika ada
pembagian Mobil Cuma-Cuma sedangkan dia tidak mau.
Sebagai umat yang memiliki hati yang jernih dan akal yang sehat,
mungkinkah akan meninggalkan keutamaan yang sangat besar tersebut?
Mungkinkah akan meninggalkan sunnah-sunnah Rasulullah saw? Tidak.
Sungguh, orang-orang Muslim yang berfikir akan mengejar keutamaan ini
demi kebahagiaan kehidupan kedua diakhirat nanti. Mungkinkah kita
sebagai umat Muhammad saw meninggalkan sunnah? Padahal Sunnah adalah
akhlak dari Nabi kita. Pantaskah kita berperilaku selain dari sunnah?
Sungguh, tidak layak seorang Muslim yang beriman meninggalkan Sunnah.
Maka dari itu, definisi; “Apabila ditinggalkan maka tidak apa-apa” harus dibuang jauh-jauh.
[WARDAN/Kang DR]
0 komentar:
Post a Comment